Minggu, 05 Februari 2012

Islamisasi Jawa

TRADISI JAWA YANG ISLAMI ( SEKATEN )

oleh:
Afit Nur Cholisin 

FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG



I.    PENDAHULUAN
Melestarikan Upacara tradisional yang memiliki nilai sejarah dan kebudayaan dimana mencerminkan semangat dan nilai-nilai luhur bangsa, merupakan kegiatan yang diupayakan secara terus menerus diselenggarakan dalam rangka menegakkan dan memperkaya kebudayaan nasional serta menegakkan identitas dan integritas bangsa Indonesia.
Upacara tradisional Sekaten sebagai upacara tradisional keagamaan Islam, mengobarkan semangat perjuangan mengembangkan agama dan memiliki nilai¬-nilai luhur dalam membentuk akhlak dan budi pekerti bangsa serta mempunyai alur sejarah yang jelas, telah menjadi salah satu upacara Tradisional resmi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan diselenggarakan setiap tahun dalam rangka memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Upacara tradisional keagamaan Sekaten di Yogyakarta diikuti oleh pesta rakyat tradisional yang cukup besar dan meriah. U n t u k  m e n e r t i b k a n  d a n mempertanggungjawabkan, maka Pemerintah Kota Yogyakarta atas ijin Sri Sultan Hamengku Buwono X menata dan mengelolanya sekaligus memanfaatkan sebagai salah satu media informasi dan komunikasi timbal batik antara Pemerintah dan masyarakat tentang upaya dan hasil pelaksanaan pembangunan nasional.

II.    PEMBAHASAN
A.    Sejarah Lahirnya Sekaten
Bagi masyarakat Indonesia khususnya daerah Jawa Tengah-an pasti sudah tidak asing saat mendengar upacara sekatenan. Kata sekaten berasal dari kata Syahadatain yang artinya adalah acara peringatan ulang tahun nabi Muhammad S.A.W. yang diadakan pada tiap tanggal 5 bulan Jawa Mulud (Rabiul awal tahun Hijrah) di alun-alun utara Yogyakarta dan juga di alun-alun Surakarta secara bersamaan. Upacara sekaten ini dulunya digunakan oleh Sultan Hamengkubuwana I, pendiri keraton Yogyakarta untuk mengundang masyarakat untuk mengikuti dan memeluk agama Islam.
Pada tahun 1939 Caka atau 1477 Masehi, Raden Patah selaku Adipati Kabupaten Demak Bintara dengan dukungan para wali membangun Masjid Demak. Selanjutnya berdasar hasil musyawarah para wali, digelarlah kegiatan syiar Islam secara terus-menerus selama 7 hari menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. Agar kegiatan tersebut menarik perhatian rakyat, dibunyikanlah dua perangkat gamelan buah karya Sunan Giri membawakan gending-gending ciptaan para wali, terutama Sunan Kalijaga.
Setelah mengikuti kegiatan tersebut, masyarakat yang ingin memeluk agama Islam dituntun untuk mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadatain). Dari kata Syahadatain itulah kemudian muncul istilah Sekaten sebagai akibat perubahan pengucapan. Sekaten terus berkembang dan diadakan secara rutin tiap tahun seiring berkembangnya Kerajaan Demak menjadi Kerajaan Islam.
Demikian pula pada saat bergesernya Kerajaan Islam ke Mataram serta ketika Kerajaan Islam Mataram terbagi dua (Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta) Sekaten tetap digelar secara rutin tiap tahun sekali sebagai warisan budaya Islam yang diadakan pada bulan Maulud, bulan ketiga dalam tahun jawa dengan mengambil lokasi di pelataran atau Alun-alun Utara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dimulai pada akhir tahun 1960-an.
Di Kasultanan Ngayogyakarta, perayaan sekaten yang terus berkembang dari tahun ke tahun pada dasarnya terdapat tiga pokok inti yang antara lain:
1. Dibunyikannya dua perangkat gamelan ( Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu) di Kagungan Dalem Pagongan Masjid Agung Yogyakarta selama 7 hari berturut-turut, kecuali Kamis malam sampai Jumat siang.
2. Peringatan hari lahir Nabi Besar Muhammad SAW pada tanggal 11 Mulud malam, bertempat di serambi Kagungan Dalem Masjid Agung, dengan Bacaan riwayat Nabi oleh Abdi Dalem Kasultanan, para kerabat, pejabat, dan rakyat.
3. Pemberian sedekah Ngarsa Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan, berupa Hajad Dalem Gunungan dalam upacara Garebeg sebagai upacara puncak sekaten.
Kegiatan pendukung event tersebut adalah diselenggarakannya Pasar Malem Perayaan Sekaten selama 39 hari, event inilah yang menjadi daya tarik bagi masyarakat Yogjakarta maupun luar Yogjakarta.

B.    Prosesi Upacara Sekaten
Upacara sekaten merupakan ajang interaksi sosial masyarakat dalam wujud kegiatan pasar malam di alun-alun utara. Sebelum upacara Sekaten dilaksanakan, diadakan dua macam persiapan, yaitu persiapan fisik dan spiritual. Persiapan fisik berupa peralatan dan perlengkapan upacara Sekaten, yaitu Gamelan Sekaten, Gendhing Sekaten, sejumlah uang logam, sejumlah bunga kanthil, busana seragam Sekaten, samir untuk niyaga, dan perlengkapan lainnya, serta naskah riwayat Nabi Muhammad SAW.
Gamelan Sekaten adalah benda pusaka Kraton yang disebut Kanjeng Kyai Sekati dalam dua rancak, yaitu Kanjeng Kyai Nogowilogo dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan Sekaten tersebut dibuat oleh Sunan Giri yang ahli dalam kesenian karawitan dan disebut-sebut sebagai gamelan dengan laras pelog yang pertama kali dibuat. Alat pemukulnya dibuat dari tanduk lembu atau tanduk kerbau dan untuk dapat menghasilkan bunyi pukulan yang nyaring dan bening, alat pemukul harus diangkat setinggi dahi sebelum dipukul pada masing-masing gamelan.
Sedangkan Gendhing Sekaten adalah serangkaian lagu gendhing yang digunakan, yaitu Rambu pathet lima, Rangkung pathet lima, Lunggadhung pelog pathet lima, Atur-atur pathet nem, Andong-andong pathet lima, Rendheng pathet lima, Jaumi pathet lima, Gliyung pathet nem, Salatun pathet nem, Dhindhang Sabinah pathet em, Muru putih, Orang-aring pathet nem, Ngajatun pathet nem, Batem Tur pathet nem, Supiatun pathet barang, dan Srundeng gosong pelog pathet barang. Untuk persiapan spiritual, dilakukan beberapa waktu menjelang Sekaten. Para abdi dalem Kraton Yogyakarta yang nantinya terlibat di dalam penyelenggaraan upacara mempersiapkan mental dan batin untuk mengembang tugas sakral tersebut. Terlebih para abdi dalem yang bertugas memukul gamelan Sekaten, mereka mensucikan diri dengan berpuasa dan siram jamas.
Sekaten dimulai pada tanggal 6 Maulud (Rabiulawal) saat sore hari dengan mengeluarkan gamelan Kanjeng Kyai Sekati dari tempat persemayamannya, Kanjeng Kyai Nogowilogo ditempatkan di Bangsal Trajumas dan Kanjeng Kyai Guntur Madu di Bangsal Srimanganti. Dua pasukan abdi dalem prajurit bertugas menjaga gamelan pusaka tersebut, yaitu prajurit Mantrijero dan prajurit Ketanggung. Di halaman Kemandungan atau Keben, banyak orang berjualan kinang dan nasi wuduk. Lepas waktu sholat Isya, para abdi dalem yang bertugas di bangsal, memberikan laporan kepada Sri Sultan bahwa upacara siap dimulai. Setelah ada perintah dari Sri Sultan melalui abdi dalem yang diutus, maka dimulailah upacara Sekaten dengan membunyikan gamelan Kanjeng Kyai Sekati.
Yang pertama dibunyikan adalah Kanjeng Kyai Guntur Madu dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Menyusul kemudian dibunyikan gamelan Kanjeng Kyai Nogowilogo dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Demikianlah dibunyikan secara bergantian antara Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogowilogo. Di tengah gendhing, Sri Sultan datang mendekat dan gendhing dibuat lembut sampai Sri Sultan meninggalkan kedua bangsal. Sebelumnya Sri Sultan (atau wakil Sri Sultan) menaburkan udhik-udhik di depan gerbang Danapertapa, bangsal Srimanganti, dan bangsal Trajumas.
Tepat pada pukul 24.00 WIB, gamelan Sekaten dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta dengan dikawal kedua pasukan abdi dalem prajurit Mantrijero dan Ketanggung. Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di pagongan sebelah selatan gapuran halaman Masjid Agung dan Kanjeng Kyai Nogowilogo di pagongan sebelah utara. Di halaman masjid tersebut, gamelan Sekaten dibunyikan terus menerus siang dan malam selama enam hari berturut-turut, kecuali pada malam Jumat hingga selesai sholat Jumat siang harinya.
Pada tanggal 11 Maulud (Rabiulawal), mulai pukul 20.00 WIB, Sri Sultan datang ke Masjid Agung untuk menghadiri upacara Maulud Nabi Muhammad SAW yang berupa pembacaan naskah riwayat maulud Nabi yang dibacakan oleh Kyai Pengulu. Upacara tersebut selesai pada pukul 24.00 WIB, dan setelah semua selesai, perangkat gamelan Sekaten diboyong kembali dari halaman Masjid Agung menuju ke Kraton. Pemindahan ini merupakan tanda bahwa upacara Sekaten telah berakhir.

C.    Nilai Islam dalam Sekaten
Sekaten sesungguhnya adalah momentum dakwah yang merupakan karya besar Walisongo. Lewat momentum sekaten, Walisongo mampu memadukan dakwah dan budaya, sehingga masyarakat tersentuh dengan acara tersebut. Esensi sekaten dari aspek dakwah adalah peringatan Maulid Nabi (kelahiran nabi), yang diharapkan bisa menjadi teladan moralitas. Sedang aspek budaya masyarakat diharapkan bisa menjadi perekat yang kokoh. Sehingga antara budaya dan dakwah bisa saling mengisi dan melengkapi. Dengan demikian sekaten sesungguhnya bukanlah semata arena dangdut, hiburan dan pasar malam. Justru esensi sekaten adalah perpaduan antara dakwah dan budaya masyarakat yang diharapkan mampu mewujudkan keluhuran akhlak di tengah masyarakat.
Di tengah krisis moral yang melanda umat manusia dewasa ini, nilai-nilai agama bagai embun penyejuk memberi kekuatan batin. Pesan-pesan moral di tengah kegersangan spiritual yang semakin memprihatinkan saat ini bisa dikemas dengan berbagai bentuk. Seperti model dakwah lewat pendekatan budaya yang dilakukan oleh Walisongo ratusan tahun lalu, yang ternyata sangat efektif dan menyentuh bagi masyarakat Jawa.
Setiap kali bicara sekaten tentu tidak bisa lepas dari acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Karena sesungguhnya esensi sekaten sendiri adalah menanamkan semangat juang umat Islam yang digali dari sejarah perjuangan Nabi. Esensi peringatan Maulid Nabi sesungguhnya untuk membangkitkan kembali moralitas umat, yang diwujudkan dengan tumbuhnya rasa cinta kepada Nabi. Kecintaan kepada Nabi sekaligus menumbuhkan kecintaan kepada ajarannya yang diwujudkan dengan ketaatan melaksanakan ajaran agama.
Dakwah Islam di Pulau Jawa yang dilakukan oleh Walisongo dalam rangka menyebarluaskan dakwah Islamiyah di tengah masyarakat. Walisongo menggagas acara sekaten yang memadukan peringatan Maulid Nabi dengan budaya Jawa. Sekaten merupakan media dakwah yang dikemas sedemikan rupa, sehingga masyarakat yang datang ke acara ini bisa melihat budaya rakyat sekaligus mendapatkan syiar dakwah. Keberhasilan Walisongo dalam menyebarkan dakwah Islam di pulau Jawa adalah karena kecerdasan mereka lewat pendekatan budaya.
Dalam peringatan Maulid Nabi sesungguhnya banyak hikmah yang bisa diperoleh. Sebab lewat peringatan tersebut akan diulas kembali berbagai keteladanan yang dilakukan Nabi. Dari sekian banyak teladan yang diberikan oleh Nabi bisa diambil satu contoh ucapan Nabi, bahwa tugas utama yang diemban beliau adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Persoalan akhlak (moralitas) ini, sejak awal dakwah Nabi memang sudah disebut merupakan tugas berat namun luhur. Dewasa ini pun persoalan krisis moral semakin memprihatinkan dan sudah merambah ke hampir ke semua sektor kehidupan. Krisis moral yang melanda bangsa Indonesia saat ini tampaknya sudah sampai pada titik nadir, sehingga tidak ada lagi rasa malu dan korupsi pun semakin merajalela di tengah penderitaan rakyat.
Kini, tatkala moralitas umat dilanda kritis yang memprihatinkan, dan tatkala kegersangan spiritual semakin suram, peringatan sekaten yang mengandung esensi Maulid Nabi, perlu diaktualisasikan. Sekaten perlu dijadikan sebagai momentum kebangkitan moral dengan kembali meneladani akhlak Nabi yang jujur, egaliter, adil dan berpihak pada kaum lemah. Ketika penguasa saat ini semakin banyak yang melakukan korupsi, dan ketika wakil rakyat tidak malu memperkaya diri di tengah penderitaan rakyat, keteladanan akhlak Nabi perlu dihadirkan lewat acara sekaten. Lewat momentum sekaten ini diharapkan bisa menjadi media untuk menggugah kembali moralitas umat tentang keteladanan akhlak Nabi.
Sekaten pada hakikatnya merupakan event yang sangat lekat dengan rakyat. Sehingga, penyelenggaraan pasar malam dan perayaan Sekaten sebagai agenda tahunan yang bernuansa religius dan budaya ini hendaknya benar-benar dikemas dengan tetap mengingat aspek sosial kemasyarakatannya.

Memandang Sekaten, jangan hanya dalam bingkai perspektif agama atau dalam kacamata budaya lokal belaka. Cara pandang yang demikian akan mengakibatkan distorsi yang cenderung memunculkan perdebatan yang kunjung berhenti. Perdebatan tersebut akan bermuara pada masalah tafsir terhadap agama dimensi normatif dan historis serta berujung pada perpecahan dan perselisihan pendapat bila perbedaan tersebut tidak dibingkai dalam upaya untuk memperoleh dan memperkuat jalinan ”ukhuwah” Islamiyah, Wathoniyah, dan Basyariah.
Perayaan Sekaten dalam masyarakat Jawa khususnya masyarakat Kota Yogyakarta dan sekitarnya  yang telah begitu mengakar kuat dan mentradisi tidak hanya di kalangan akar rumput tapi juga masyarakat keseluruhan pada umumnya tidak dapat dipungkiri merupakan hasil dari ”sinergisasi” dan ”akulturasi” (perpaduan) kebudayaan, antara Islam (sebagai agama sekaligus ”budaya”) dengan budaya lokal setempat.
Hubungan dan kolaborasi antara, Islam sebagai ”teks besar” atau ”grand narrative” dengan budaya lokal tidak lagi dapat dipandang dalam frame penundukkan Islam menundukan atau ditundukkan oleh budaya lokal, tetapi harus dipandang bahwa proses akulturasi tersebut malah semakin menunjukkan kekayaan atau keberagaman ekspresi budaya Islam setelah bersinggungan atau bertemu dengan bangunan budaya lokal. Islam tidak melulu dipandang dalam dimensi keuniversalitasannya walaupun pada titik ini orang yang beragama Islam harus tetap berkeyakinan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang paripurna dan universal tetapi juga bahasa dan sikap akomodatif ”Islam” dalam menerima dan mengapresiasi budaya lokal. Di sisi lain, budaya lokal tidak pula melulu kita pandang sebagai bagian yang harus selalu mengalah kepada Islam, namun budaya lokal pasti mempunyai kacamata sendiri dalam membahasakan Islam menurut perspektifnya sendiri. Cara pandang yang seperti ini akan menghasilkan konstruksi pemahaman baru yang peranannya sangat signifikan dalam proses pembauran dan perpaduan antara dua unsur budaya yang berbeda sehingga menghasilkan akulturasi budaya yang massif dan mengakar di masyarakat tanpa menghilangkan substansi dari dua unsur budaya yang bertemu.
Perspektif lain yang ingin dihadirkan melalui perayaan Sekaten adalah Islam telah mengalami pembacaan ulang dalam hal ini bukan bersifat merubah nilai atau ajaran substansial Islam melalui kacamata pribumi atau lokalitas yang sudah pasti berbeda dengan Islam di tempat asalnya, Jazirah arab atau Timur Tengah. Dalam hal ini telah terjadi proses ”Pribumisasi Islam” terhadap nilai-nilai substansial dalam Islam. Sebuah proses bargaining budaya telah terjadi yang mengikutsertakan dua unsur budaya yang bertemu. Proses tawar-menawar ini melibatkan perilaku adaptasi dan akomodasi dengan semangat menciptakan tatanan budaya baru yang dapat diterima bersama.










III.    KESIMPULAN
Sekaten berasal dari kata ”Syahadatain”; yang berarti Dua Kalimat Syahadat. Sekaten yang saat ini sedang dirayakan oleh sebagian besar masyarakat Yogyakarta merupakan sebuah rangkaian kegiatan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat bersama dengan Pemerintah Kota Yogyakarta dan masyarakat. Berbagai bentuk acara dan kegiatan dilangsungkan dalam perayaan Sekaten yang beraneka ragam variasi dan macamnya seiring perubahan waktu mulai dari yang sifatnya ritual keagamaan hingga apresiasi seni tradisi lokal sampai pameran dan pasar malam. Kultur lokal dan kultur modern seakan melebur dalam waktu bersamaan dalam momentum sekaten.
upacara sekaten diawali saat malam hari dengan iring-iringan abdi Dalem (punggawa kraton) bersama-sama dengan dua set gamelan Jawa, yaitu Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Iring-iringan ini bermula dari pendopo Ponconiti menuju masjid Agung di alun-alun utara dengan dikawal oleh prajurit Kraton. Kyai Nogowilogo akan menempati sisi utara dari masjid Agung, sementara Kyai Gunturmadu akan berada di Pagongan sebelah selatan masjid. Kedua set gamelan ini akan dimainkan secara bersamaan sampai dengan tanggal 11 bulan Mulud selama 7 hari berturut-turut. Pada malam hari terakhir, kedua gamelan ini akan dibawa pulang ke dalam Kraton.
Sekaten merupakan media dakwah yang dikemas sedemikan rupa, sehingga masyarakat yang datang ke acara ini bisa melihat budaya rakyat sekaligus mendapatkan syiar dakwah. Keberhasilan Walisongo dalam menyebarkan dakwah Islam di pulau Jawa adalah karena kecerdasan mereka lewat pendekatan budaya.

IV.    PENUTUP
Alhamdulillah segala puji syukur bagi Allah, yang telah memberikan petunjuk dan RahmatNya sehingga makalah dapat terselesaikan. Tentu saja dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, maka dari itu kritik dan saran kami harapkan kepada siapapun pembaca makalah ini agar kelak dapat lebih baik lagi dalam pembuatan makalah yang berikutnya. Dan akhirnya kami ucapkan banyak terima kasih atas perhatiaanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar